Rabu, 24 Februari 2016

(Merasa) Tertipu Dengan Makanan Unik

Ceritanya waktu saya ke Semarang bulan lalu. Setiap mengunjungi suatu daerah pasti lah penasaran dengan makanan khas daerah tersebut. Meskipun sekarang sudah banyak juga penjual makanan khas suatu daerah yang membuka lapak di daerah lain. Di daerah sekitar rumah saya saja, Kab. Bandung, setiap hari minggu ada banyak sekali pilihan menu makanan yang berjejer di pinggir jalan, terutama disekitar pasar mingguan. Mulai dari Kupat Tahu khas Tasikmalaya, Sate Madura, Soto Lamongan, hingga Soto Makasar. Kalau warung nasi Padang tidak usah dipertanyakan lagi (dimana-mana ada he he). Sebetulnya saya tidak tahu makanan khas Kota Semarang. Waktu mampir ke salah satu warung makan untuk makan siang, saya melihat-lihat menu makanan yang tersedia. Sepertinya semua menunya saya kenal. Setidaknya pernah saya lihat juga di Bandung, seperti ketoprak, nasi petis, ayam bakar, ayam kremes, dan beberapa menu lain. Setelah dibaca semuanya, ternyata ada satu menu yang tidak saya kenal, tacamprak (Anda pernah mencicipinya?). Alih-alih bertanya kepada penjaga warung, saya langsung memesan saja karena sudah lapar dan juga penasaran. Setelah mununggu cukup lama (sekitar 40 menit) karena warungya lumayan rame, akhirnya pesanan saya datang. Saya lihat-lihat bentuknya sangat mirip dengan ketoprak hanya saja dicampur dengan tahu yang lumayan banyak. Dengan antusias saya segera mengambil sendok dan garpu. Suapan pertama membuat dahi saya mengkerut. Bukan karena rasanya tidak enak, tapi yang saya makan memang ketoprak. Sambil melanjutkan makan siang, dalam hati saya bertanya-tanya (kenapa namanya tacamprak?). Sontak saya menyimpulkan sendiri, mungkin tacamprak itu akronim dari "tahu campur ketoprak" (atau Anda punya tebakan lain?). Hadoh. Saya (merasa) tertipu.

Selasa, 23 Februari 2016

Mie Instan Instan

Sekarang saya berusaha tidak mengkonsumsi mie instan. Hanya sesekali saja kalau memang sedang pengen. Mie instan memang digemari oleh banyak orang dari semua kalangan dan semua usia (kecuali balita). Selain rasanya enak, varian rasa banyak, cara memasaknya juga praktis. Pilihan yang tepat kalau sedang malas. Dari segi harga juga sangat terjangkau. Jadi, bisa dijadikan pilihan saat sedang malas dan kantong sedang kering.
Kenapa namanya mie instan? Ya, karena memasaknya cukup praktis. Bumbu-bumbunya sudah dalam kemasan yang tinggal dituangkan tanpa perlu susah payah diracik terlebih dahulu. Meskpiun praktis, tetapi tidak instan karena tidak langsung siap makan. Kalau mie instan yang instan biasanya tidak dimasak terlebih dahulu tetapi langsung diremukin kemudian dicampur dengan bumbu. Sebetulnya tidak mengenyangkan, tapi rasa gurih bumbunya cukup ampuh untuk mengusir rasa lapar. Kalau saya lebih suka "jalan tengah" dalam mengkonsumsi mie instan. Tidak instan tapi setengah instan. Jadi, saya langsung buka saja kemasan mie instannya (jangan sampai pinggirnya sobek), keluarkan bumbunya, kemudian seduh dengan air panas. Tinggal tunggu beberapa menit kemudian mie siap untuk disajikan (dan disantap. Sikaat!).

[Mie instan setengah instan yang saya masak waktu tinggal di Asrama ITB Kidang Pananjung]
Namun cara memasak mie instan yang seperti itu sudah saya tinggalkan. Sekarang saya lebih sadar tentang pentingnya kesehatan. Kalaupun sedang ingin makan mie, saya memasaknya sesuai prosedur yang tercantum pada kemasannya (apakah cara memasak mie setengah instan tidak sehat? saya juga hanya menduga saja). Jadi, silahkan saja jika Anda suka mengkonsumsi mie instan. Namun sebaiknya jangan dikonsumsi secara berlebihan karena apapun yang dikonsumsi berlebihan bisa berdampak buruk.

Gara-gara nulis ini, saya jadi lapar dan ingin masak mie instan setengah instan lagi hi hi.

Senin, 22 Februari 2016

Likers asal-asalan

Pengguna media sosial semakin kesini semakin banyak saja. Menurut data yang dirlis We Are Social, pada bulan Januari 2016 pengguna media sosial mencapai 2,307 milyar orang atau sekitar 31% dari penghuni bumi saat ini (saat ini bumi dihuni oleh 7,395 milyar orang). Orang sebanyak itu kalau dikumpulkan di dalam satu bangunan kira-kira bangunannya sebesar apa ya? lalu Bagaimana bentuknya? (jawabannya bisa Anda lihat di sini waitbutwhy.com). Banyak juga ya orang yang tinggal di bumi (sampai-sampai tulisan saya melebar kemana-mana. Hadoh.). Kembali ke masalah pengguna media sosial yang semakin banyak. Sebetulnya saya jadi agak malas menggunakan media sosial. Alasannya karena sudah menjadi mainstream. Kalau sudah mainstream, jadi tidak anti-mainstream lagi hi hi. Tidak, bukan itu alasannya. Fenomena yang sering saya alami adalah likers asal-asalan. Seringkali saya mengunggah tulisan yang cukup panjang (terdiri dari beberapa ratus kata), tapi anehnya baru satu detik sudah ada yang nge-like. Saya tidak tahu kalau manusia bisa membaca secepat itu (jangan-jangan Anda bisa lebih cepat?). Tujuan dari tulisan tersebut diunggah memang untuk mendapat tanggapan, dan tentu saja saya merasa senang kalau tanggapannya positif. Sayangnya, jumlah like yang diberikan terhadap tulisan-tulisan di media sosial tidak lagi bisa dijadikan parameter bahwa pembaca menyukai tulisan saya. Banyak orang yang nge-like hanya untuk meramaikan atau sekedar ikut-ikutan saja. Bagi saya jumlah like tidak masalah, yang penting adalah pesan dari tulisan saya tersampaikan. Tapi kalau tidak ada yang nge-like juga bingung (kemungkinan tidak ada yang suka bahkan tidak ada yang membaca). Akhirnya, saya nge-blog saja lah. Kalau ada pembaca ya bersyukur kalau tidak ya tidak apa-apa (yang penting tanggapannya tidak asal-asalan).

Minggu, 21 Februari 2016

Diteriaki (oleh) Orang Aneh

Saya senang sekali bersepeda. Bagi saya bersepeda bukan sekedar untuk berolahraga atau sebagai alat transportasi. Kalau mau bepergian dan jaraknya lumayan dekat dari rumah, saya selalu memilih bersepeda. Kenapa? Ya pengen saja. Termasuk pagi ini, saya bersepeda tanpa tujuan rute yang jelas. Biasanya spontanitas saja untuk istirahat sejenak dari tugas-tugas kuliah. Saya mulai menelusuri jalan kopo menuju Lanud Sulaiman. Kalau bersepeda di jalan raya, biasanya sering mendapat bunyi klakson. Hal seperti ini wajar sekali karena sepeda memang tidak secepat kendaraan bermotor, apalagi kalau pengemudinya sedang terburu-buru pasti ngebut. Tapi, apa yang saya alami pagi ini berbeda dari biasanya. Tiba-tiba ada seorang pengendara motor laki-laki (membonceng seorang perempuan) menghampiri saya kemudian berteriak lumayan kencang dari samping kanan saya. Untung saya tidak ge er, mungkin dia berteriak ke pohon-pohon di pinggir jalan. Jadi, saya cuek saja (tidak terkejut sama sekali) mengayuh sepeda. Melihat saya memberi respon datar, si pengendara segera memalingkan muka ke depan dan menancap gas, motor matic yang dikendarainya melaju kencang. Entahlah kalau pengendara tersebut sedang melakukan social experiment atau hanya iseng. Orang-orang aneh seperti ini lebih baik diabaikan saja, kalau nabrak juga tidak usah ditolong hi hi hi.

Lebih Memilih Buku Biografi daripada Buku Motivasi

Judulnya mungkin terkesan sentimental bagi sebagian orang (atau tidak juga?). Bukan berarti bahwa buku motivasi jelek. Hanya saja belakangan ini saya baru menyadari kalau buku-buku yang saya miliki sebagian besar adalah biografi. Pada awalnya saya senang membaca buku-buku motivasi. Setiap selesai membaca, saya jadi termotivasi lagi (namanya juga buku motivasi he he). Tapi lama-kelamaan, buku motivasi hanya enak dibaca saja. Isi bukunya tidak selalu relevan dengan kondisi yang dialami. Jadi, lumayan sulit untuk diterapkan ke kehidupan sehari-hari. Hal yang membuat buku biografi lebih menarik adalah isinya tidak sugestif. Penulis biografi biasanya memang membuatnya sedikit dramatis, tetapi tetap rasional. Proses pencapaian-pencapaian orang dalam biografi tersebut juga tidak instan tetapi melalui proses yang panjang dan melibatkan banyak orang hebat. Menurut saya ini lebih nyata.

[Beberapa buku biografi yang saya temukan di rak buku plus bungkus DVD Detective Conan]



"

    Sabtu, 20 Februari 2016

    Senang Melihat Orang Lain Susah

    Saya sering tertawa puas di atas "penderitaan" orang lain. Bukan hanya saya, mungkin sebagian besar orang juga sering merasa senang saat melihat orang lain sedang susah payah (Bagaimana dengan Anda?). Memang terkesan jahat. Namun bagi saya, tidak semua penderitaan orang lain itu harus diberi empati, sebagian sah-sah saja ditertawakan ha ha. Dalam beberapa kondisi, saya tidak segan melakukannya. Termasuk saat mengawas Try Out SBMPTN yang diselenggarakan Paguyuban Mahasiswa Kab. Bandung ITB (PMKB ITB) beberapa waktu lalu. Ditengah-tengah pengerjaan Saintek (soal-soal yang berisi mata pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi), saya sempat memperhatikan beberapa ekspresi wajah siswa/siswi SMA peserta TO. Beberapa masih fokus memperhatikan soal, entah bingung mencari jawaban atau bingung memahami soal. Rata-rata yang seperti ini adalah mereka yang duduk di bangku paling depan. Dua tiga orang mulai menggaruk-garuk kepala. Kalau yang ini, memang wajar sekali dilakukan. Saya sendiri sering melakukannya ketika sudah mentok berpikir. Beberapa mulai gelisah melirik-lirik samping kiri dan kanan bahkan ada juga yang mencuri-curi kesempatan dari saya untuk menengok ke belakang. Lucu saja melihatnya. Satu dua kali saya biarkan karena yang belakang pun sepertinya lebih kebingungan. Kemudian saya tegur dengan sedikit candaan. Sepertinya cukup ampuh kalau melihat respon mereka yang langsung kembali fokus ke lembar jawaban masing-masing.

    [Ini foto yang diambil saat mengerjakan Saintek]
    Saya tidak sedang mempersoalkan perilaku mereka. Tapi tertawa di atas "penderitaan" orang lain itu memang nikmat. Tentu saja ada batasan penderitaan yang tidak boleh kita tertawakan. Misalnya, saat ada orang yang rumahnya kebakaran (Kalau ditertawakan bisa dipukuli orang). Tapi untuk kasus saya ini sah-sah saja bukan? (Atau tetap jahat juga?).

    Jumat, 19 Februari 2016

    Menulis Lagi (?)

    Entah kenapa saat ini saya sedang ingin menulis lagi. Pada dasarnya saya memang lebih senang mengekspresikan sebuah ide atau opini lewat tulisan. Bisa lebih teliti memilih diksi. Sejak blog ini dibuat, saya bingung mau menulis apa. Akhirnya saya mulai dengan hal-hal remeh. Pertimbangan saya saat itu, tidak ingin mendapat terlalu banyak kritik (karena tulisan saya ngawur he he). Setelah beberapa tulisan di publish. Saya mulai cemas soal kualitas. Rasanya tulisan saya kok begitu-begitu saja (read: membosankan). Bahkan saya sendiri malas membacanya. Beberapa tahun terakhir saya baru menyadari bahwa untuk menulis, pertama-tama harus banyak membaca. Supaya tulisan berbobot, perlu ditambahkan hasil penelitian. Dan untuk menambah rasa, penulis harus mengalami apa yang ditulis. Biasanya tulisan yang berdasar pengalaman lebih memikat emosi pembacanya.

    Ah, setelah beberapa tahun ternyata tulisan saya masih tetap ngawur. Tapi lumayan lah ada kesibukan menulis lagi he he he.