Selasa, 24 Mei 2016

Gulai Rasa Kolak

"Penampilan itu penting karena membangun kesan pertama."

Saya termasuk orang yang agak cuek dalam hal berpakaian. Yang penting nyaman saja. Biasanya cukup T- shirt atau polo shirt, jaket, dan celana panjang. Kalau bukan dalam acara (sangat) formal, bertemu dengan siapapun biasanya seperti itu. Kurang sopan ya? Entahlah. Hi hi.

Berbeda kalau masalah makanan. Menurut saya, penampilan itu sangat penting. Dengan tampilan yang menarik, selera makan bisa meningkat berkali-kali lipat. Meskipun kalau ternyata rasanya tidak enak, ya nggak dimakan juga. Ha ha.

Oh iya, selain harus menarik, penyajian makanan juga jangan membuat orang bingung. Bisa gawat!! 

Tadi pagi, di meja makan ada semangkuk makanan berkuah tepat di samping rice cooker yang baru berpindah ke mode warming. Sekilas seperti gulai. Sebetulnya saya sudah lama tidak makan gulai. Jadi, saya juga tidak ingat betul. Yang jelas berkuah santan. Sarapan berkuah santan memang tidak disarankan (tapi, sekali-sekali boleh lah). Sebelum saya menuangkan nasi ke mangkuk yang berkuah itu, untung saja saya cicipi dulu kuahnya. Rasanya manis. Seingat saya gulai itu rasanya asin dan gurih. Dan ternyata ini memang bukan gulai, tapi kolak. Hadooh. Saya merasa aneh sendiri. Hampir saja sarapan kolak bercampur nasi. Bagaimana ya rasanya? Gawat kan? Ha ha. Akhirnya, tadi pagi saya sarapan dengan telor dadar saja.

Eh, sekarang sudah waktunya makan siang. Tapi saya mau makan "gulai" yang tadi pagi saja ah. Yuk!

Gulai Rasa Kolak Labu

Kalau sekarang dilihat lagi bentuknya memang seperti kolak. Jangan-jangan rasanya yang berubah jadi gulai? Ha ha ha.

Sabtu, 14 Mei 2016

Catatan (itu) Penting!

Selama sekolah, sejak SD sampai sekarang (sudah tingkat 4. Hi hi.) saya tidak punya arsip buku catatan yang lengkap. Bukan tidak senang mencatat, tapi ya tidak lengkap saja. Kalau dirata-ratakan, buku catatan saya hanya terisi dengan rapi pada materi-materi awal saja, sekitar 1 bulan pertama. Setiap berganti semester, semangat mencatat selalu muncul pada awal-awalnya saja. Entah kenapa? Kalau sudah mulai masuk ke tengah semester jadi semakin malas mencatat. Mungkin karena tugas-tugas sudah mulai bermunculan, sehingga fokus jadi terbagi. Atau menurut Anda kenapa? Hmm. Entahlah. Pokonya, jadi malas mencatat saja.

Kelihatannya memang sepele. Hanya catatan. Kan masih ada buku acuan?

Ternyata tidak sesederhana itu juga. Kalau sudah dekat ujian, baru lah terasa sulitnya belajar langsung dari buku acuan. Tulisannya terlalu banyak dan juga sulit menandai mana yang penting mana yang tidak. Terlebih kalau buku acuannya lebih dari satu, tebal-tebal, dan berbahasa asing. Hadoh.

Berbeda dengan membaca catatan sendiri. Tulisan yang tertuang pada buku catatan sebagian besar sudah kita pahami saat menuliskannya sehingga saat dibaca ulang, tidak perlu waktu lama untuk memahaminya kembali. Atau tidak juga? Ha ha. Sebetulnya, bisa saja meminjam catatan teman yang rajin mencatat. Tetapi, tetap saja tidak sama dengan catatan sendiri sekalipun catatan teman kita itu lengkap.

Tidak hanya dalam kepentingan akademik, catatan juga berguna dalam setiap kegiatan. Manusia memang tempatnya lupa dan salah. Dalam seminggu atau sebulan mungkin masih bisa ingat. Tapi, kalau sudah tahunan, sudah banyak sekali aktivitas lain yang dilakukan, pasti ada yang lupa. Atau bahkan baru sehari saja sudah lupa? Kalau saya sering begitu. Hi hi.

Kalau catatan Anda bagaimana?

Selasa, 10 Mei 2016

Caption Tidak Nyambung

Belakangan ini, saya semakin sering menjumpai foto-foto yang tersebar dengan caption yang tidak nyambung. Tulisannya sama sekali tidak berkaitan dengan gambar. Beberapa kasus memang sengaja dibuat tidak nyambung untuk membuat lucu atau membuat kesan santai. Sebetulnya, ini sah-sah saja. Kecuali, kalau tulisannya sudah sangat panjang tidak karuan. Di Instagram misalnya, untuk menjelaskan satu foto, ada yang sampai ratusan kata. Kalau saya sih malas baca nya. Terlebih kalau tulisan sama gambar tidak nyambung sama sekali. Lebih baik ditulis saja dengan baik di media lain, kemudian dikasih link. Menurut Anda bagaimana?

Meskipun tidak membaca caption nya karena malas. Biasanya saya kasih like untuk usahanya mengetik. Kalau ngetik pake smartphone, pasti leher lumayan pegel juga. He he. Kalau komentarnya isinya orang-orang jualan? Jadi kasihan melihatnya. Tapi, saya ketawain juga. Ha ha ha.

Kamis, 05 Mei 2016

Nggak Sabaran!

Saya terkadang risih kalau bersepeda di jalan raya atau jalanan yang cukup ramai dilalui kendaraan bermotor. Pasti ada saja pengemudi yang "nggak sabaran". Sudah tahu jalanan cukup ramai dan ada gerobak dari arah berlawanan, ya otomatis saya mengayuh sepeda agak ke tengah untuk menghindari gerobak. Padahal sudah berusaha meminggir agar tidak menghalangi kendaraan lain yang mau menyalip. Tapi, tetap saja pengemudi di belakang seolah tidak sabar untuk menyalip bahkan tidak jarang membunyikan klakson. Terlebih kalau jalanan macet dan hanya tersisa satu jalur untuk ukuran kendaraan roda dua. Pasti pengemudi semakin "nggak sabaran". Keadaan seperti ini justru yang bikin capek. Kalau saya bandingkan, bersepeda di sekitaran jalan kopo (kawasan Bandung Selatan yang terkenal sering macet) itu secara psikologis lebih melelahkan daripada bersepeda ke Ciwidey atau Pangalengan meskipun jalanan menanjak dan jaraknya cukup jauh. Mungkin karena ke Ciwidey tidak macet jadi tidak ada pengemudi yang "nggak sabaran". Hi hi.

Gambaran keramaian jalan kopo (diambil sekitar 2 tahun yang lalu)

Waktu saya bersepeda ke ciwidey (sekitar 3 tahun yang lalu)

Sebetulnya, tidak masalah jika fasilitas untuk jalur pesepeda memang belum tersedia, yang penting adalah saling menghormati sesama pengguna jalan.

Ah, saya mau lanjut bersepeda saja. Udah nggak sabar.

Selasa, 03 Mei 2016

Kemana Membuang Sampah B3?

Sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) jumlahnya memang tidak sebanyak sampah organik. Tapi, meskipun jumlahnya sedikit, dampaknya sangat berbahaya. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 03/PRT/M/2013, sampah yang termasuk kategori sampah B3 antara lain kemasan obat serangga, kemasan oli, kemasan obat-obatan, obat-obatan kadaluarsa, peralatan listrik, dan peralatan elektronika rumah tangga.

Lalu, kemana biasanya Anda membuang sampah-sampah tersebut?

Dulu, saya jarang menjumpai sampah B3 di rumah. Jadi, saya tidak terlalu memikirkan tempat pembuangannya. Sekarang, saya sering menggunakan baterai dan komponen untuk rangkaian elektronika. Berhubung baterai rechargeable harganya mahal, jadi saya menggunakan baterai sekali pakai saja. Meskipun hanya beli satu per satu, lama-lama jadi menumpuk. Sebetulnya, bisa saja saya langsung membuangnya bersama sampah-sampah lain. Tapi, biasanya petugas kebersihan di sini tidak memilahnya lagi. Saya juga tidak tahu, kalau selanjutnya dikelola terpisah atau digabung dengan residu karena belum ada pengelolaannya. Hmm. Sementara saya simpan dulu saja sambil mencari informasi.